![]() |
| Pict. Pixabay/Anemone123 |
OCD Syndrome Itu Apa? Kenali Gejala, Penyebab, dan Cara Mengatasinya
Mindfulliving.id – Pernah nggak kamu merasa harus ngecek
kompor sampai lima kali sebelum pergi, atau mencuci tangan berkali-kali karena
takut kuman? Kalau iya, mungkin kamu pernah dengar istilah OCD atau OCD
syndrome. Tapi sebenarnya, OCD syndrome itu apa sih?
Singkatnya, OCD (Obsessive-Compulsive Disorder) adalah gangguan
kecemasan yang ditandai dengan dua hal utama: obsesi dan kompulsi.
Obsesi adalah pikiran atau ketakutan yang muncul
berulang-ulang dan sulit dikendalikan, sementara kompulsi adalah tindakan atau
ritual yang dilakukan untuk meredakan kecemasan akibat obsesi tersebut.
Misalnya, seseorang yang takut kuman bisa jadi mencuci
tangan sampai kulitnya iritasi. Atau seseorang yang khawatir meninggalkan pintu
tak terkunci bisa bolak-balik mengecek meski sudah tahu pintunya aman.
Masalahnya, kebiasaan ini mengganggu hidup sehari-hari dan
justru memperkuat lingkaran kecemasan.
Gimana OCD Bisa Terjadi? Ternyata Otak Punya Peran Besar
Secara ilmiah, OCD bukan cuma soal kebiasaan atau
kepribadian perfeksionis. Penelitian terbaru menggunakan teknologi pemindaian
otak seperti MRI dan PET scan menunjukkan bahwa OCD melibatkan gangguan di area
otak tertentu, khususnya basal ganglia dan korteks orbitofrontal.
Basal ganglia adalah bagian otak yang terlibat dalam
mengatur kebiasaan dan gerakan, sementara korteks orbitofrontal berkaitan
dengan pengambilan keputusan dan kontrol impuls.
Nah, ketika komunikasi antara bagian-bagian otak ini
terganggu, seseorang bisa terjebak dalam siklus obsesif-kompulsif yang sulit
dihentikan.
Studi pada tikus bahkan menunjukkan adanya aktivitas listrik
yang dimulai dan berakhir di saraf penghubung dua area otak ini—mirip dengan
pola yang ditemukan pada manusia dengan OCD.
Apakah OCD Bisa Diobati? Bisa Banget, Asal Konsisten
Kabar baiknya, OCD bisa ditangani. Salah satu metode paling
efektif adalah terapi perilaku kognitif (CBT), khususnya jenis yang disebut exposure
and response prevention (ERP).
Terapi ini membantu pasien menghadapi ketakutan mereka
secara bertahap (exposure), lalu belajar untuk tidak melakukan tindakan
kompulsif sebagai respon (response prevention).
Sekitar 70% orang dengan OCD mengalami perbaikan signifikan
setelah menjalani CBT, bahkan tanpa obat. Terapi ini juga terbukti membantu
mengembalikan fungsi otak yang sempat terganggu.
Untuk kasus OCD yang cukup parah, dokter mungkin akan
meresepkan obat antidepresan seperti SSRI (Selective Serotonin Reuptake
Inhibitors) dengan dosis yang lebih tinggi dibanding pengobatan depresi biasa.
Bila SSRI tidak efektif, opsi lain seperti clomipramine atau
obat neuroleptik bisa digunakan, meskipun efek sampingnya cukup kuat.
Teknologi Canggih untuk OCD
Beberapa kasus OCD tergolong resisten terhadap pengobatan
biasa. Untungnya, ada alternatif canggih yang kini tersedia.
Salah satunya adalah transcranial magnetic stimulation (TMS)—prosedur
non-invasif yang menggunakan medan magnet untuk menstimulasi saraf otak. FDA
bahkan telah menyetujui TMS untuk penanganan OCD pada orang dewasa sejak 2018.
Bila TMS belum cukup efektif, langkah selanjutnya adalah deep
brain stimulation (DBS). Teknik ini melibatkan pemasangan elektroda di otak
untuk mengirim sinyal listrik guna "mereset" pola aktivitas yang
terganggu.
DBS awalnya digunakan untuk Parkinson, tapi kini
dikembangkan juga untuk OCD.Operasi otak seperti anterior cingulotomy atau anterior
capsulotomy juga masih digunakan dalam kasus ekstrem.
Prosedur ini melibatkan pembedahan pada area tertentu otak
yang diyakini be
rkontribusi terhadap gejala OCD. Tentu saja, langkah ini
diambil hanya jika semua metode lain tidak berhasil.
Intinya, kalau kamu bertanya OCD syndrome itu apa,
jawabannya bukan cuma soal perfeksionis atau suka bersih-bersih. OCD adalah
gangguan serius yang bisa mengganggu kehidupan sehari-hari, hubungan sosial,
bahkan kesehatan mental secara keseluruhan.
Tapi jangan khawatir, dengan terapi yang tepat dan dukungan yang cukup, OCD bisa dikelola dengan sangat baik. Jadi, kalau kamu atau orang terdekatmu punya gejala seperti ini, jangan ragu untuk konsultasi ke profesional kesehatan mental ya.(***)
