Mengenal OCD dan Fobia: Gangguan Kecemasan yang Sering Diabaikan

Pict. Pixabay/PDPics
Mengenal OCD dan Fobia: Gangguan Kecemasan yang Sering Diabaikan

Mindfulliving.id – Pernah dengar istilah OCD atau fobia? Mungkin kamu langsung membayangkan seseorang yang suka bersih-bersih terus atau takut banget sama laba-laba.

Tapi, sebenarnya dua hal ini adalah bagian dari gangguan kecemasan yang lebih luas—dan seringkali disalahpahami. Di Amerika saja, sekitar 40 juta orang dewasa atau 18% populasi setiap tahunnya mengalami gangguan kecemasan.

Hal ini mencakup OCD (Obsessive-Compulsive Disorder), gangguan panik, berbagai jenis fobia seperti acrophobia (takut ketinggian) dan agoraphobia (takut tempat terbuka), gangguan kecemasan sosial, gangguan kecemasan menyeluruh (GAD), hingga PTSD.

Nah, dalam artikel ini kita akan bahas dua jenis yang cukup sering jadi bahan candaan tapi sebenarnya cukup serius yaitu OCD dan fobia.

OCD

Salah satu mitos terbesar tentang OCD adalah anggapan bahwa ini hanya tentang "orang yang suka keteraturan".

Padahal kenyataannya jauh lebih kompleks. Orang dengan OCD terjebak dalam pikiran atau tindakan berulang yang mereka sadari tidak rasional, tapi tetap sulit dihentikan.

Contohnya, mencuci tangan puluhan kali sehari, mengecek kompor berulang kali, atau memastikan pintu terkunci berkali-kali meskipun sudah yakin sebelumnya. Kondisi ini bisa berlangsung selama bertahun-tahun dan sangat melelahkan, baik secara mental maupun fisik.

Secara medis, OCD memengaruhi sekitar 2,2 juta orang dewasa di AS setiap tahun, dan sepertiga dari mereka mulai menunjukkan gejala sejak masih anak-anak.

Penyebabnya? Kombinasi antara genetik dan lingkungan. Bahkan, scan otak menunjukkan adanya gangguan di bagian tertentu dari sistem saraf pusat.

Yang menarik, hewan juga bisa mengalami gangguan mirip OCD, lho! Beberapa anjing besar bisa mengalami acral lick syndrome—mereka menjilat bagian tubuhnya terus-menerus hingga luka.

Uniknya, mereka juga bisa membaik dengan obat yang sama seperti manusia, seperti clomipramine dan SSRI seperti sertraline dan paroxetine.

Selain pengobatan, terapi perilaku seperti exposure and response prevention (ERP) juga terbukti efektif untuk membantu pasien mengatasi OCD.

Fobia

Bayangkan kamu sangat takut pada laba-laba. Tapi bukan sekadar geli atau jijik, melainkan sampai jantung berdebar kencang, napas sesak, dan keringat dingin saat melihatnya—bahkan hanya dari gambar. Itulah fobia.

Fobia adalah ketakutan intens dan irasional terhadap objek atau situasi tertentu. Bisa berupa fobia terhadap darah, hewan tertentu, ketinggian, hingga aktivitas sosial seperti berbicara di depan umum atau berkencan.

Respons tubuh terhadap fobia sangat nyata, seperti detak jantung yang meningkat drastis dan serangan panik. Jika tidak ditangani, fobia bisa membatasi ruang gerak seseorang, mereka bisa menghindari situasi penting dalam hidupnya hanya karena takut.

Kabar baiknya, terapi perilaku kognitif (CBT) terbukti efektif membantu mengatasi fobia. Dengan pendekatan bertahap, pasien dilatih menghadapi ketakutannya secara perlahan hingga rasa takutnya menurun.

Gangguan Panik dan Keterkaitannya dengan Fobia

Sebagai tambahan, ada juga gangguan panik, di mana seseorang mengalami serangan panik tiba-tiba dengan rasa takut luar biasa, dada sesak, pusing, hingga ingin pingsan.

Ketika kondisi ini terjadi berulang, orang bisa merasa takut akan serangan berikutnya. Hal ini seringkali menyebabkan mereka menghindari tempat ramai atau terbuka—dan bisa berkembang menjadi agoraphobia.

Gangguan panik ini punya angka prevalensi seumur hidup sekitar 4,7% di AS dan bisa menyerang siapa saja tanpa peringatan. Biasanya, pengobatan meliputi antidepresan seperti SSRI dan juga terapi CBT untuk mengubah pola pikir yang memicu serangan panik.

OCD dan fobia bukan sekadar sifat unik atau kebiasaan aneh. Mereka adalah bagian dari gangguan kecemasan yang bisa sangat membatasi hidup penderitanya. Bahkan, gangguan ini sering muncul bersamaan dengan depresi, yang meningkatkan risiko bunuh diri.

Kalau kamu atau orang terdekatmu merasa punya gejala seperti ini, jangan ragu untuk mencari bantuan. Psikolog dan psikiater bisa membantu memberikan diagnosis dan penanganan yang tepat, baik dengan terapi maupun pengobatan.(***)

Source: BrainFacts/SfN

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال